SuaraPapua.org – Awal Desember 2018 jadi titik awal penderitaan panjang bagi masyarakat Nduga. Tragedi pembunuhan terhadap pekerja jalan di gunung Kabo memicu operasi militer besar-besaran. Akibatnya, ribuan warga Nduga terpaksa mengungsi ke berbagai wilayah di Papua. Kabupaten Jayawijaya jadi salah satu daerah tujuan utama pengungsi.
Kini sudah tujuh tahun berlalu. Para pengungsi belum juga bisa kembali ke kampung halaman mereka. Selama itu pula, pemerintah pusat terkesan menutup mata terhadap hak-hak dasar mereka—mulai dari hak hidup yang layak, hak atas pendidikan, layanan kesehatan, hingga perlakuan yang adil dalam hukum dan pemerintahan. Hak untuk dilindungi dari kekerasan pun tak mereka rasakan.
Hari Jumat (9/5/2025), warga pengungsi di Kampung Sekom, Distrik Muliama, Kabupaten Jayawijaya, membangun kembali posko darurat mereka yang sudah lama roboh. Kali ini, mereka mendirikan bangunan khas Papua pegunungan: Honai. Setelah selesai membangun, mereka menggelar acara bakar batu sebagai bentuk syukur dan kebersamaan.
Acara tersebut dihadiri oleh tokoh masyarakat seperti Sakius Lengka (kepala suku), Theo Hesegem (aktivis HAM), Raga Kogeya (relawan kemanusiaan), serta seluruh pengungsi yang tinggal di Kampung Sekom.
Di sela acara, Raga Kogeya menjelaskan, “Posko pertama kami dulu hanya dari terpal dan batang kayu, sudah lama roboh. Sekarang kami bangun kembali dengan bentuk Honai, sesuai budaya kami orang gunung.”
Salah satu warga pengungsi, yang enggan disebutkan namanya, bercerita dengan suara lirih. Ia dan keluarganya belum bisa pulang karena kampung mereka masih dijaga ketat dan operasi militer senyap terus berlangsung.
“Kami baru bisa pulang kalau situasinya aman. Kalau TNI ditarik pulang, baru kami berani kembali ke kampung,” ungkapnya penuh harap.
Raga Kogeya pun menyampaikan kondisi para pengungsi saat ini sangat memprihatinkan, terutama soal kesehatan.
“Banyak anak-anak yang sakit, dari cacar air, diare, kudis, cacingan, sampai amuba. Kami sangat butuh pos kesehatan di sini, dengan tenaga medis yang paham kondisi dan budaya kami,” ujarnya.
Ia juga menyoroti kebutuhan mendesak akan air bersih.
“Kami kesulitan air bersih untuk minum, masak, dan mandi. Ini kebutuhan dasar yang belum terpenuhi sampai sekarang,” tambah Raga, perempuan asal Nduga yang selama ini aktif dalam aksi-aksi kemanusiaan.
Mirisnya, alih-alih berkurang, jumlah pengungsi justru terus bertambah. Ini karena operasi militer masih terjadi, termasuk di Kampung Yuguru, Distrik Mebarok, Nduga. Setelah pembebasan pilot Philip Mark Mehrtens, banyak warga dari Yuguru juga ikut mengungsi karena kondisi yang makin mencekam.
“Sekarang banyak pengungsi baru yang datang, dan mereka kelaparan. Mereka butuh makanan. Kami mohon pemerintah Nduga jangan lagi tutup mata. Tolong lihat penderitaan kami,” tutup Raga penuh haru.